Sejarah
mencatat beberapa ulama Indonesia pada masa lalu pernah berkiprah
hingga namanya dikenal dunia. Mereka pada umumnya berguru ke Mekah dan
Madinah. Sebagian menghabiskan hidupnya dengan mengajar di sana,
sebagian lagi pulang ke Indonesia. Berikut di antara mereka:
Namanya
tak hanya dikenal oleh masyarkaat Nusantara, tapi juga kaum muslimin di
Filipina, Turki, Arab Saudi, Mesir, dan India. Lahir di Banjar tanggal
15 Safar 1122 (17 Mei 1710). Selama hampir 35 tahun berguru pada
ulama-ulama terkenal di Mekah dan Madinah seperti Syeikh Ataillah bin
Ahmad Al-Misriy, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdiy, Syeikh Ahmad
bin Abd Mun’im Syeikh, dan Muhammad bin Abd Karim Al-Qadiri.
Selepas
berguru di Mekah dan Madinah, Al-Banjari kembali ke tanah air. Ia
membuka pusat-pusat studi Islam untuk membantu masyarakat menimba ilmu
pengetahuan.
Al-Banjari
berhasil menulis berpuluh-puluh karya. Salah satu yang termasyhur
adalah kitab Sabilal Muhtadin, yang kerap menjadi referensi para penulis
buku fikih. Pada 6 Syawal 1227 (3 Oktober 1812), Al-Banjari wafat.
Untuk mengenang karya dan jasanya, masyarakat Banjarmasin mendirikan
Masjid Raya Sabilal Muhtadin.
2. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli Al-Minangkabawi
Ia
seangkatan dengan Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Lahir di
Candan, Sumatera Barat, pada tahun 1871. Sulaiman menuntut ilmu agama di
Mekah dan antara lain berguru pada ulama Minang yang tinggal di Tanah
Suci, Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif Al-Minangkabawi. Sekembali ke
tanah air, ia menyebarkan ajaran Islam dengan sistem lesehan (duduk
bersila). Baru pada tahun 1928, Al-Minangkabawi menggunakan bangku.
Pada
tahun 1928 juga, Al-Minangkabawi bersama Syeikh Abbas Ladang Lawas dan
Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya organisasi yang sempat
menjadi partai politik, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
3. Syeikh Sayyid Utsman Betawi
Nama
lengkapnya Sayyid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya
Al-Alawi, namun lebih dikenal dengan sebutan Habib Utsman Mufti Betawi.
Lahir di Pekojan, Jakarta, 17 Rabiul Awwal 1238 (2 Desember 1822).
Habib
Utsman adalah sahabat ulama besar Sayyid Yusuf An-Nabhani, mufti di
Beirut. Selama di Mekah, Habib Utsman menimba ilmu pada Syeikh Ahmad
Ad-Dimyathi, Sayyid Muhammad bin Husein Al-Habsyi, Sayyid Ahmad bin
Zaini Dahlan, dan Syeikh Rahmatullah.
Semasa
hidupnya, Mufti Betawi berhasil menulis karya sebanyak 109 buah. Dalam
memutuskan suatu perkara ia dikenal sangat tegas. Tak heran kalau
ulama-ulama asli Jakarta yang ada sekarang sangat mengagumi sosok Mufti
Betawi dan menjadikannya guru teladan.
4. Syeikh Muhammad Khalil Al-Maduri
Lahir
pada 11 Jamadil Akhir 1235 (27 Januari 1820) di Bangkalan, Madura.
Al-Maduri berasal dari keluarga ulama. Ia sempat berguru kepada Kiai
Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Al-Maduri
semasa mudanya berhasil menghafal Al-Qur’an (hafizh). Juga mampu
menguasai qiraah tujuh (tujuh cara membaca Al-Qur’an).
Tahun
1859 Al-Maduri menuju ke Mekah. Ia bersahabat dengan Syeikh Nawawi
Al-Bantani. Sekembalinya ke tanah air, Al-Maduri mendirikan pondok
pesantren di daerah Cengkebuan, 1 kilometer dari tanah kelahirannya.
Pada
masa penjajahan Belanda, ia sudah sepuh dan tak lagi mampu terlibat
langsung dalam kontak fisik. Namun ia sangat aktif menumbuhkan sikap
perlawanan kepada para pemuda di pondok pesantrennya. Akibatnya,
Al-Maduri ditahan Belanda karena dituduh melindungi para pemberontak.
Muhammad
Khalil Al-Maduri wafat pada usia 106 tahun (29 Ramadan 1341 atau 14 Mei
1923). Semasa hidup telah membina kader-kader ulama untuk generasi
setelahnya, seperti KH Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren
Tebuireng, Jombang) dan KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren
Rembang).
5. Syeikh Nawawi Al-Bantani
Al-Bantani
kerap disebut sebagai “Imam Nawawi Kedua”. Gelar ini diberikan oleh
Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fathani. Lahir pada penghujung
abad ke-18 di Banten. Ia memiliki nama lengkap Muhammad Nawawi bin Umar
ibnu Arabi bin Ali Al-Jawi Al-Bantani.
Selama
di Mekah, Nawawi Al-Bantani belajar pada beberapa ulama terkenal
seperti Syeikh Ahmad An-Nahrawi, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah
Al-Maliki, Syeikh Ahmad Ad-Dumyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma
Al-Hanbali, Syeikh Zainuddin Aceh, dan Syeikh Ahmad Khathib Sambas.
Setiap
kali mengajar di Masjidil Haram, ia selalu dikelilingi sekitar 200-an
orang. Pernah diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir, untuk memberi
ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara khusus.
6. Syeikh Muhammad Mukhtar Al-Bughri
Lahir
di Bogor, Jawa Barat, pada 14 Sya’ban 1278 (14 Februari 1862). Nama
lengkapnya Muhammad Mukhtar bin Atharid Al-Bughri Al-Batawi Al-Jawi.
Pendidikan agamanya didapat langsung dari orang tuanya. Semasa muda, ia
telah mampu menghafal Al-Qur’an. Tahun 1299 hijrah ke Betawi (Jakarta)
untuk menimba ilmu kepada Sayyid Utsman. Tidak puas juga, ia kemudian
menuju ke Mekah.
Selama
di Mekah, Mukhtar Al-Bughri belajar kepada ulama termasyhur, Syeikh
Ahmad Al-Fathani. Ia juga diberi kesempatan untuk mengajar di
Masjidil-Haram selama 28 tahun. Setiap kesempatan mengajar, ia selalu
dikelilingi sekitar 400-an muridnya. Semasa hidupnya telah menulis
berpuluh-puluh karya. Mukhtar Al-Bughri wafat di Mekah pada 17 Shafar
1349 (13 Juli 1930).
7. Syeikh Abdul Hamid Asahan
Nama
lengkapnya Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud. Lahir di Tanjung Balai
Asahan, Sumatera Utara, tahun 1298 H (1880). Sejak kecil ia belajar
kepada saudara iparnya yang bernama Haji Zainuddin. Setelah itu belajar
kepada ulama termasyhur di Asahan bernama Syeikh Muhammad Isa, mufti
Kerajaan Asahan. Syeikh Muhammad Isa menganjurkan Abdul Hamid untuk
menimba ilmu ke Mekah. Pasalnya, Abdul Hamid memiliki talenta untuk
menjadi ulama.
Sampai
di Mekah, Abdul Hamid Asahan langsung diterima belajar di halaqah
Syeikh Ahmad Al-Fathani. Sayang, dua tahun kemudian Syeikh Ahmad
Al-Fathani meninggal dunia (1325 H/1908). Walau berinteraksi hanya
sekitar dua tahun, rasa kasih sayang Syeikh Ahmad Al-Fathani begitu
kuat.
Abdul Hamid
Asahan kemudian berguru pada Syeikh Ahmad Khathib bin Abdul Lathif
Minangkabawi. Proses belajar ini sempat terganggu karena meletusnya
Perang Dunia I (1914 – 1918). Ia terpaksa pulang ke Tanjung Balai
Asahan. Abdul Hamid kemudian mendirikan Madrasah ‘Ulumil ‘Arabiyah.
Seiring berjalannya waktu, madrasah ini berkembang pesat dan menjadi
termasyhur di Sumatera Utara. Abdul Hamid Asahan melengkapi hidupnya
dengan menulis berpuluh-puluh buku. Ia wafat pada 10 Rabiul Akhir 1370
(18 Februari 1951).
ConversionConversion EmoticonEmoticon